Hidup selama puluhan tahun tidak menjadi penentu seseorang menemukan hal yang benar-benar dia inginkan. Utamanya bagi manusia-manusia yang lahir di tengah gempuran perubahan pesat pada banyak hal. Mereka dikenal sebagai generasi Z. Terlalu banyak hal-hal yang terjadi sehingga mereka tanpa sadar melewatkan banyak masa semata-mata untuk menemukan utopia yang mungkin fana.
Di masa-masa itu, saya pernah menemui seseorang tanpa mimpi dan tujuan hidup yang jelas. Kala itu ia bertutur “Mau ja bahagia saja, nda adaji goals lain ku. Mau ja bahagia lalu masuk surga,” ujarnya sebelum menyadari bahwa kebahagiaan sendiri sesuatu yang datang bahkan hingga kematian hampir menjemput.
Kami berkenalan sejak lama dan dia benar-benar menjalani hidup di atas perkataan orang lain. Menuruti perkataan setiap orang, mengikuti perintah orang tua sekalipun itu untuk berbohong hingga permintaan-permintaan lain yang menerbitkan senyum di wajah orang terdekatnya.
Hingga suatu ketika, ia bertemu dengan seseorang yang mengenalkan arti hidup dan mengenal rasa yang lebih dari sekadar “bahagia”. Dia kemudian mendapati dirinya mulai memiliki jati diri, lebih dari perasaan ingin merasa aman dan nyaman setelah membagikan kebahagiaan. Sampai saat mereka tidak lagi bersama, nilai-nilai dan prinsip hidup itu masih tertinggal dan menjadi bagian dari dirinya.
Kami masih bersama di masa-masa dia melakukan setiap hal yang dia anggap benar. Hingga dia menjalani hidup dengan nilai-nilai yang dia anggap benar dan sekali lagi mampu membuat setiap orang di sekitarnya turut berbahagia di matanya.
Saya teringat, suatu ketika, saat kami sedang berbincang-bincang dan banyak kawan yang menyebutkan bahwa lingkungan benar benar mempengaruhi mereka dalam bekerja, salah satu dari kawan kami berujar “Saya kalau malas teman ku, malaska juga. Pokoknya nda mauka rajin sendiri, kalau malas ko, ya malas ka juga,” Wajahnya saat itu terkejut ketika mendengar ujaran kawan kami. Dia dengan percaya diri membalas “Kenapa ki kah harus rubah hal-hal di dalam diri ta karena orang lain? Padahal nda adaji yang bakal rugi ketika rajin ki, toh untuk diri sendiri ji juga hasilnya. Nda merasa bahagia ko kah kalau senang orang disekitarmu?” Tebak bagaimana reaksi kawan-kawan yang lain? Mereka tertawa sembari membalasnya dengan mengatakan hidupnya terlalu lurus dan ideal di masa yang serba dinamis ini.
Kala itu diam diam dia mulai memikirkan perkataan kawannya, benarkah ini semata-mata hanya angannya akan tujuan hidup ingin bahagia hingga dia mengabaikan jenis perasaan lain di dalam dirinya? Benarkah dia tidak pernah merasakan kecewa maupun sakit hati saat tengah berusaha membuat orang disekitarnya bahagia walau harus kesullitan sendiri? Dia belum bisa menjawab pertanyaan itu.
Sampai saat ini, ia masih bertahan dengan senyuman dan kebahagiaan orang lain sebagai teman dalam perjalanannya menemukan impian yang ingin diraih. Ia tetap bertahan dengan hal itu. Tetap melanjutkan hidup. Dan tetap berusaha memberikan yang terbaik di atas kesulitan dan kesalahan yang kerap dia lakukan.
Layaknya Keiko milik Sayaka Murata di Convenience Store Woman, setiap orang memiliki standarnya masing-masing untuk meraih bahagia itu, baik dengan menjalani hidup dengan pekerjaan yang sama sepanjang masa, menjadikan senyum orang lain sebagai standar kebahagiaan, hingga memilih untuk tetap menjadi diri sendiri di tengah perubahan dunia yang makin dinamis.
Sebab Dea Anugrah dalam bukunya berujar, bahwa hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.
Penulis: Kinanti Serenade